Jogja, Jakarta, dan Flores
Menghimpun pengetahuan melalui pengalaman dan pencatatan penelitian artistik terhadap pengetahuan arkeologis dari situs Liang Bua dan Homo Floresiensis, adalah keperluan paling awal sebelum praktik artistik di mulai. Penelitian ditumpu oleh dua pertanyaan mengenai dinamika ekosistem biologis dan ekosistem sosial Homo Floresiensis. Kegiatan pelacakan artistik ini berlangsung dari November-Januari di 3 kota: Yogyakarta (Departemen Arkeologi UGM), Jakarta (Pusat Arkeologi Nasional/ARKENAS), Flores (Situs, Warga sekitar, Antropolog).
Dari Departemen Arkeologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, selain belajar cara amat terhadap artefak prasejarah, kami juga dipertemukan dengan metode dan cara baca jurnal-jurnal arkeologi. Selain itu juga mulai menandai pentingnya modus sezaman pada penemuan artefak di Liang Bua.
Di ARKENAS, Jakarta, kami berkesempatan bertemu dan melakukan wawancara mendalam dengan Bapak Jatmiko. Arkeolog yang memimpin proyek ekskavasi Liang Bua. Dari Beliau kami mendapatkan cerita penggalian sampai ukuran-ukuran spesifik atas semua temuan yang kebetulan sudah juga dihimpun ke dalam sebuah buku yang di tulis langsung oleh Bapak Jatmiko. Di akhir pertemuan kami diajak untuk bertemu dengan Patung Flo yang dibuat oleh seniman dari Jepang.
Sedangkan di Flores, Selain “mengalami gua” sebagai situs: Tekstur, Soundscape, topografi, kami juga melacak narasi kultural melalui warga sekitar Liang Bua, dari mulai bagaimana gua itu dimaknai dan difungsikan juga hal-hal mistis yang menyelimutinya.
Di Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng kami berjumpa dengan Romo Inu, seorang antropolog yang pernah meneliti Liang Bua dalam perspektif antropologi. Dari beliau jarak yang jauh antara masa kini dan yang purba, seolah menemukan sandaran logikanya untuk dirasakan dekat melalui kesadaran ruang dan waktu. Liang Bua adalah kapsul waktu.
